SISTEM PETANIAN TERPADU
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pertanian
terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga
dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu
atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka
waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan
bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding
pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses
pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya
produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut
sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan.
Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki
ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah
karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya. Disamping akan terjadi
peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas
dan efisiensi produksi akan tercapai.
Selain hemat energi,
keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah petani akan memiiki beragam
sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi
tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak
kambing atau ayam dan menanam sayuran. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak
dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi.
Jika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau
bahkan menjual kambing untuk mendapatkan penghasilan.
Pertanian
terpadu merupakan pilar kebangkitan bangsa Indonesia dengan cara menyediakan
pangan yang aktual bagi rakyat Indonesia. Dalam segi ekonomi pertanian terpadu
sangat menguntungkan bagi masyarakat karena output yang dihasilkan lebih tinggi
dan sistem pertanian terpadu ini tidak merusak lingkungan karena sistem ini
ramah terhadap lingkungan. Output dari pertanian terpadu juga bisa digunakan
Selain itu limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi
biomassa. Bekas jerami, batang jagung dan tebu memiliki potensi biomas yang
besar.
2. Maksud dan Tujuan Pratikum
Maksud dan tujuan dari
pratikum Sistem Pertanian Terpadu ini adalah :
1.Memberikan pengetahuan praktis (hard skill) kepada mahasiswa tentang
peran faktor lingkungan (biotik
dan abiotik) dalam sistem pertanian.
2.Melatih mahasiswa untuk dapat menganalisis komponen-komponen dalam
sistem pertanian dan menuangkannya
dalam
bentuk
bahasan yang
mengupas kondisi di setiap tipe
sistem pertanian.
3.Secara khusus tujuan pratikum ini adalah melatih
mahasiswa untuk
berfikir secara holistik
berdasarkan wawasan mahasiswa terhadap interaksi komponen dalam sistem
pertanian dan menelusuri peran lingkungan di setiap tipe sistem pertanian.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1. Sistem Sawah
Lahan Basah dan Lahan Kering
a. Sawah lahan basah
Secara umum sistem pertanian di
Indonesia, khususnya yang menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah(sawah) dan
pertanian lahan kering. Seperti diketahui, pembangunan pertanian di Indonesia
selama ini terfokus pada peningkatan produksi pangan, terutama beras (Manuwoto,
2009).
Lokasi pengamatan sistem sawah
dilaksanakan di daerah Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar. Sawah-sawah di
daerah ini diolah dengan terasering. Pola tanam yang digunakan adalah
monokultur. Tanaman yang ada hanya padi dan beberapa pohon pisang. Pohon pisang
di sini selain diambil buahnya juga berfungsi sebagai pematah angin, agar padi
tidak roboh. Sawah harus selalu basah, untuk itu sawah harus selalu tergenang
air. Apabila debit air untuk daerah tertentu sangat terbatas, dapat diatasi
dengan cara hanya menggenangi sawah pada saat tanaman masih kecil. Yang pasti
satu atau dua minggu sebelum panen, padi harus selalu digenangi agar kuningnya
merata.
Input yang diberikan untuk sawah
kebanyakan pupuk anorganik, sawah ini jarang diberi input pupuk organik.
Outputnya berupa gabah yang akan diolah menjadi beras dan hasil sampingan
berupa pisang. Jerami dari padi dapat digunakan sebagai pakan ternak sedangkan
akarnya ditinggal untuk kemudian diolah bersama tanah. Yang perlu diperhatikan
adalah penggunaan pupuk anorganik yang masih mendominasi di sawah. Hal ini
masih kurang diperhatikan oleh petani. Penggunaan pupuk anorganik yang terus -
menerus dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem dan lingkungan di sekitar
sawah.
Penggunaan pupuk buatan/kimia yang
berkonsentrasi tinggi dan tidak proporsional pada lahan sawah berdampak pada
penimpangan status hara dalam tanah. Dampak lain adalah menyusutnya kandungan
bahan organik tanah karena berkurangnya penggunaan pupuk organik. Dilaporkan,
sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1
persen (Sugito et al, 1993). Sementara, sistem pertanian dapat menjadi
berkelanjutan (sustainable) apabila kandungan bahan organik tanah lebih dari 2
persen (Handayanto, 1999).
b. Sawah lahan kering
Lahan kering
selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang
dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS)
sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering
(kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Untuk
memudahkan pengutaraan dalam penyajian ini, yang dimaksud lahan kering adalah
lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering berada di lahan atasan. Belakangan
ini pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering yang digunakan
masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air
tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara
tetap (Notohadinagoro,1997).
Sawah
dikenal mempunyai teknik budidaya tinggi , sistem pengelolaan yang sudah baik,
stabilitas kesuburannya lebih baik. Pada sawah tadah hujan ini pengelolaan air
tergatung pada curah hujan yang ada. Pengairan tergantung pada curah hujan dan
sumur gali yang biasanya terdapat di tengah sawah. Sistem pengairan antar lahan
sawah dilakukan dengan pemanfaatan parit dan terasering yang menyalurkan air
dari lahan tinggi ke rendah. Penambahan input khususnya pupuk yang diberikan
pada lahan sawah ini terbagi menjadi dua yaitu kimiawi dan organik. Pupuk kimia
yang digunakan adalah pupuk Urea dan Phonska. Sedangkan penggunaan pupuk
organik cukup tinggi yaitu berupa penggunaan kembali biomass/kompos jerami
serta kotoran ternak milik petani sendiri (Pusat Peneliti Universitas
Brawijaya, 1991)
Pada lahan
terlihat kandang-kandang ternak unggas yang disejajarkan dengan lahan sawah.
Ini bertujuan untuk mempermudah penambahan bahan organik pada lahan sawah
tersebut. Suhu, kelembaban dan sinar matahari di sawah dalam takaran yang
cukup. Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari
menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh
tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis. Hasil pengamatan di lahan
sawah daerah pengamatan Kecamatan Nogosari, Boyolali dapat diketahui bahwa
sawah tersebut merupakan lahan tadah hujan, dengan ciri utama lahan tidak
tergenang air dan menggunakan konsep terasering. Jenis padi yang ditanam adalah
varietas gogo atau padi tegal.
Penggunaan
input pestisida adalah dengan penyemprotan berkala. Terdapat kearifan lokal
pada teknik pengelolaan hama yaitu pemasangan orang-orangan sawah setiap 10-15
meter. Orang-orangan sawah tersebut membantu petani untuk mengusir hama burung.
Hasil output yang dibawa keluar adalah hasil utama panen gabah dan beberapa
jerami. Jerami biasanya untuk pakan ternak. Sedangkan jerami sisanya menurut
petani masih ditumpuk dan disisakan di pinggir sawah untuk persiapan pemupukan
musim tanam depan. Selain itu ada output sampingan berupa hasil dari tanaman
yang ditanam di pinggir sawah namun dengan nilai ekonomis kecil dan hanya untuk
konsumsi pribadi seperti pisang, ketela pohon dan kayu bakar.
Menyangkut
diversitas pada sistem sawah ini cukup baik. Walaupun sebagian besar didominasi
oleh tanaman padi pada tegalan sawah masih disisakan untuk ditanami tanaman
rumput gajah, ketela pohon, pisang dan tanaman peneduh sengon. Hal ini untuk
memanfaatkan lahan yang tersisa dan kebutuhan pakan ternak seperti penanaman
rumput gajah dan ketela pohon. Sedangkan pengamatan mengenai pergiliran tanaman
belum cukup informasi sehingga belum diketahui varietas apakah yang dipakai dan
bagaimana pola tanam disana. Rantai makanan (siklus hara) pada pengamatan sawah
lahan kering ini terlihat terdapat beberapa siklus energi tetap. Adanya
biomassa yang terus diupayakan pada pertanian ini yaitu dengan penggunaan
jerami. Jerami tersebut biasanya ditumpuk dipinggir sawah dengan bentuk kubah
dan dibiarkan membusuk. Sedangkan beberapa jerami dibawa keluar untuk pakan
ternak. Namun ternak tersebut masih berkontribusi dengan kotorannya yang tetap
dijadikan pupuk. Penyisihan jerami tersebut sudah merupakan langkah tepat untuk
keterpaduan dan pemenuhan kebutuhan unsur hara tanah.
2. Sistem Tegal
Sistem pertanian
tegal merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan
dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat
minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada,
yang terjadi karena sistem hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah
yang berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang
diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian
(Anonim, 2001).
Selain sawah,
daerah pertanian yang telah diamati di Kecamatan Nogosari juga merupakan pusat
penghasil sayuran. Berdasarkan pengamatan di lokasi pertanian tersebut berada
pada tanah kering atau tidak tergenang dan ditanami dengan bermacam-macam jenis
tanaman musiman. Sebagian besar tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman
sayuran seperti kenikir, cabai, bayam, kangkung dan jagung.
Metode
pengolahan tanah yang dilakukan adalah dengan cara konvensional yaitu
pencangkulan dan membuat sistem irigasi di pinggir lahan. Pengolahan lahan
dilakukan dengan membuat petak-petak dan masing- masing petak biasanya ditanami
tanaman yang berbeda. Dimana tanah diolah sesuai kebutuhan petani. Petani hanya
sekedar mengolah tanah tersebut untuk tujuan penggemburan agar bibit mudah
ditanam. Pengolahan tersebut juga berkaitan dengan penyiangan rumput-rumput
liar yang hidup disekitar tanaman budidaya.
Pola penanaman di daerah
tersebut berupa pola tanam tumpangsari. Pola penanaman ini memiliki biodiversitas
tanaman yang cukup tinggi dimana dalam satu lahan biasanya terdiri dari 4-5
jenis tanaman musiman. Misalnya pada salah satu lahan terdapat tanaman bayam,
kangkung, dan kenikir sebagai tanaman inti. Pada bagian pinggir lahan ditanami
tanaman jagung dan ketela pohon. Dengan diversitas tinggi tersebut beberapa
lahan telah menerapkan jarak tanam yang baik. Dapat terlihat bahwa penanaman
tanaman lombok dilakukan jarak tanam yang lebar. Sedangkan beberapa tanaman
sayuran ditanam dengan jarak yang cukup teratur. Penanaman tumpangsari ini
belum sepenuhnya aman dari gangguan dari luar, misalnya gangguan hama yang
bersifat polifag.
Secara umum
lahan tersebut berada pada intensitas cahaya matahari yang tinggi dan suhu yang
tinggi. Pengairan yang dilakukan menggantungkan pada curah hujan yang ada.
Namun beberapa lahan tegal terdapat sumur yang berfungsi mengairi lahan apabila
kebutuhan air masih kurang. Biasanya petani sudah tahu kapan saat yang tepat
untuk menanam sehingga kebutuhan air dapat terpenuhi.
Input pupuk yang digunakan
dalam budidaya lahan tegal adalah pupuk kimia dan pupuk organik. Pupuk organik
yang digunakan adalah kotoran kambing hasil ternak dan kompos jerami, petani
yang diwawancarai memberitahukan bahwa sebanyak 15 ekor kambing dapat memberikan
kontribusi pupuk kandang pada luas sekitar 200 m2. Terdapat pemanfaatan seresah
dan gulma yang ada disekitar lahan. Petani dapat memanfaatkan daun-daun ketela
pohon, jagung dan rumput- rumputan untuk memberi makan ternak kambingnya.
Output dari sistem pertanian tegal ini adalah hasil sayuran budidaya berupa
jagung dan ketela. Sedangkan daun ketela tetap digunakan petani untuk pakan
ternaknya.
3. Sistem Talun dan Pekarangan
a. Talun (tegal pekarangan)
Pekarangan atau
kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di
Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai adalah sistem
pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak
belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun
(fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya,
pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun
campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat
dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat
misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase
talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas
karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering
disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase
yaitu kebun, kebun campuran dan talun (Anonim, 2000).
Pengamatan sub
sistem talun dilaksanakan di Jumantono. Talun di Jumantono ini merupakan lahan
kering, apabila musim hujan tanaman banyak sehingga talun akan terlihat hijau,
namun pada musim kering talun terlihat tidak sehijau pada musim hujan. Usaha
yang dilakukan petani untuk mengkonservasi lahannya dengan cara membuat
talunnya berupa terasering dengan pola tanam campuran. Selain itu, pencegahan
erosi juga dilakukan dengan cara menanam pohon jati di batas – batas
teraseringnya. Tanaman yang terdapat di talun ini adalah kacang tanah, jagung,
jati, mangga, dan singkong. Jarak tanam yang diterapkan cukup teratur meskipun
agak tidak rapi. Pada petak kacang tanah di sekelilingnya ditanami jagung dan
singkong dan di tengah - tengahnya terdapat pohon mangga dan jati. Sedangkan
pada petak jagung penanaman lebih teratur, si sekelilingnya ditanami singkong
dan di tengah – tengahnya juga terdapat jati.Hama yang sering menyerang di
lahan ini adalah belalang yang menyerang daun kacang tanah dan ulat jati, yang
khusus menyerang jati saja.
Input yang
diberikan kepada talun berupa pupuk, sedikit pupuk anorganik berupa urea dan
banyak pupuk organik. Pupuk anorganik berasal dari daun kacang yang rontok yang
dibiarkan begitu saja sehingga bisa menjadi pupuk bagi tanaman, sedangkan
hijauan kacang tanah digunakan sebagai pakan ternak yang kemudian kotoran hewan
tersebut digunakan sebagai pupuk. Selain dari daun kacang, pupuk organik juga
berasal dari sisa hasil tepung tapioka yang diambil dari pabrik tepung tapioka
yang terletak di sekitar talun. Output yang dihasilkan dari lahan berupa kacang
tanah, jagung, mangga, dan singkong. Komoditi kacang tanah di sini kualitasnya
terbukti sangat bagus. Siklus hara yang terjdi yaitu daur siklik karena hasil
yang ditanam pada akhirnya juga dikembalikan lagi ke tanah yang sama.
b. Pekarangan
Pekarangan
adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan
jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan
masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang
bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi
hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika
(Danoesastro, 1978).
Pengamatan
sistem pekarangan dilakukan di Jumantono. Pekarangan ini tidak mempunyai sistem
pengolahan tanah dan tidak mempunyai sistem pola tanam. Tanaman – tanaman yang
ada antara lain : pisang, kacang panjang, bayam, bambu, melinjo, pare,
ciplukan, pepaya, jarak, jati, cabe, dan lain-lain. Siklus hara yang terjadi
adalah siklik atau tertutup. Tanaman dengan akar yang dalam akan mengambil hara
kemudian diangkut ke atas permukaan sehingga dapat dimanfaatkan juga oleh
tanaman yang akarnya tidak terlalu dalam.
Jenis tanamannya
lebih lengkap mulai dari tanaman tahunan, tanaman semusim, sayur-sayuran,
buah-buahan, serta tanaman obat. Jarak tanamnya tidak teratur karena ditanam
sendiri dan hasilnya juga untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Pengolahan
tanahnya tidak memerlukan perlakuan khusus artinya seadanya saja. Misalnya pada
pemberian pupuk, tidak diberi pupuk secara langsung. Penambahan pupuk sangat
minim, bahkan tanpa pupuk. Pupuk berasal dari tanaman itu sendiri, daun-daun
yang sudah gugur jatuh ke tanah kemudian mengalami pelapukan sehingga secara
tidak langsung seresah-seresah tersebut menjadi pupuk bagi tanaman. Kebutuhan
air didapat dari air hujan, sehingga tergantung dari air hujan.
Siklus haranya
siklik, tertutup artinya hasil dari pekarangan digunakan untuk keperluan
sendiri. Misalnya pada tanaman juar daunnya untuk pupuk dan kayunya digunakan
untuk bahan bangunan. Siklus hara umum misal N juga dapat tambahan dari air
hujan, ada tambahan dari air permukaan. Jika musim seperti ini, tanaman lebih
bervariasi, namun jika musim kemarau lebih terdominasi oleh tanaman
tahunan.tanaman di sini sering dikonsumsi sendiri karena hasilnya juga tidak
begitu banyak.
4. Sistem Perkebunan
Lokasi pengamatan sistem perkebunan berada di daerah
perkebunan teh, tepatnya di daerah Kemuning. Pada lahan perkebunan ini tanaman
yang ditanam berupa tanaman semusim. Sebenarnya lahan ini kurang cocok bila
ditanami tanaman semusim. Namun karena terdesak kebutuhan ekonomi, selain teh,
warga juga menanam wortel meskipun hasilnya tidak terlalu bagus.
Pengolahan tanah yang dilakukan di perkebunan teh
Kemuning menggunakan sistem terasering dan memiliki pola tanam monokultur.
Artinya, lahan ini hanya ditanami oleh satu jenis tanaman saja yaitu teh. Para
petani di daerah ini juga menanam cengkeh, pisang, jagung, dan wortel . Tanaman
cengkeh digunakan untuk menaungi tanaman utama yang terletak di bawahnya agar
tanaman terlindung dari terpaan angin. Jadi, fungsi cengkeh di sini juga
sebagaiwindbr eaker atau pematah angin. Untuk pencegahan erosi, teh yang
ditanam sangat rapat dengan tajuk saling menaungi.
Input yang digunakan untuk perkebunan teh berupa pupuk
nitrogen. Sedangkan outputnya berupa daun teh, cengkeh, wortel, pisang, dan
jagung. Pada lahan ini tidak ada masa terbuka, selain karena sistem yang
digunakan adalah labirin, juga karena jarak tanamnya rapat sekali. Sebagai
informasi tambahan, untuk pembibitan, tanaman teh ditanam agak renggang ( ± 160
cm per tanaman ). Sedangkan untuk konsumsi, lebih rapat dengan jarak tanam ± 70
cm per tanaman.
Di sekitar perkebunan teh terdapat cengkeh, jika
ditanami tanaman semusim disekitar perkebunan teh tersebut akan terjadi
longsor. Jarak tanan teh dan cengkeh sangat teratur, perakaran dari teh dan
cengkeh sangat dalam, sehingga mampu menahan parit-parit dibawah yang mengalir
terus-menerus. Siklus hara yang terjadi adalah non siklik. Karena pucuk tanaman
teh setelah dipetik akan dibawa ke pabrik untuk diolah dan tidak kembali lagi
ke lahan. Pola tanam tidak boleh searah dengan kemiringan. Jadi harus melintang
agar tidak mudah terjadi longsor.
Tanaman yang baik ditanam pada lahan yg miring adalah
pohon-pohon besar. Tidak ada tanaman semusim. Secara konservasi memang bagus,
tanaman teh perlu peremajaan. Jadi, tanaman teh dibabat sampai habis, nanti
secara otomatis akan tumbuh lagi, biasanya untuk bibit. Tinggi tanaman selalu
diatur tingginya, pemeliharaannya sangat ekstra. Harus selalu dipangkas
pucuknya. Hama penyakit sangat jarang dan tidak terlalu mengkhawatirkan karena
ada musuh alami juga, seperti burung, serangga lain. Dan inilah yang sangat
diperlukan, karena masih alami.
5. Sistem Pertanian Terpadu
Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input
luar sebagai berikut : kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida,
mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi
terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan
fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya
kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan
varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman komersial lainnya
juga nampak semakin menantang. Namun demikian, pemanfaatan input buatan yang
berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya
terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial
dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan,
benih serta input lainnya.
Akibat selanjutnya menyebabkan ketidakmerataan antar
daerah dan perorangan yang memperburuk situasi sebagian besar petani lahan
sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes, Haverkort, dan Bayer,
1999). Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka
sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan
lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal
bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.
Sistem tumpangsari tumbuhan dan ternak pada umumnya
banyak dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk
pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Di
dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan
tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya merupakan komponen kedua.
Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan
dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi
kopra, hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil
ternak, menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah pengumpulan buah kelapa.
(Moningka et al, 1993) menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara
lain : (1) tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi
stress karena panas, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya
air seni dan feces ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak,
membatasi pertumbuhan gulma, (4) mengurangi penggunaan herbisida, (5)
meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis
termasuk hasil ternaknya.
Pelaksanaan praktikum Sistem Pertanian Terpadu ini
dilaksanakan di Desa Genengduwur, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen pada
tanggal 8 Mei 2010. Lahan pada daerah ini memiliki ketinggian sebesar 170 m
dpl, dengan koordinat 70 23’28”BB serta 1100 50’565”BT. Pada praktikum ini
dilakukan pengamatan terhadap sistem peternakan dan pertanian yang saling
terpadu. Pelaksanaan pertanian terpadu meliputi pelaksanaan pertanian terpadu,
analisis peningkatan kesuburan tanah serta analisis ekonomi pertanian terpadu.
Asal mula pengembangan Kebun Pengembangan Pertanian
Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong, Sragen adalah dikarenakan
keprihatinan salah satu warga, Bapak Sumaryo, terhadap keadaan penduduk miskin
di sekitar tempat tinggalnya. Kemiskinan tersebut karena hasil pertanian
rendah. Pertanian merupakan mata kunci perekonomian di daerah tersebut. Sejarah
dimulainya lahan di daerah Genengduwur ini dimulai pada tahun 1986 sampai tahun
1993 yang dirintis oleh Bapak Sumaryo. Bapak Sumaryo mengumpulkan uang sedikit
demi sedikit, khususnya dari uang pada saat menjadi dekan selama 3 tahun di
Fakultas Pertanian Universitas Slamet Riyadi Solo untuk menyewa lahan di sini
mulai tahun 1986, karena akan mencoba memecahkan kemiskinan petani pada lahan
yang tanahnya putih, namun pada tahun 1993 – 2006 sempat vakum. Pada tahun 2006
Bapak Suryono dan Suroyo ikut bergabun ke dalam tim Yayasan Wiyata Dharma yang
mengolah dan mendanai kegiatan pertanian di daerah tersebut.
Pertanian terpadu merupakan konsep pemanfaatan lahan
yang tersedia semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk pertanian yang
beraneka ragam dengan kualitas tinggi. Hasil yang beragam dari tiap komoditas
pertanian tersebut diolah kembali untuk sumber masukan energi dalam melakukan
aktivitas pertanian lainnya. Pemanfaatan komponen-komponen pertanian yang
saling terkait antara satu dengan yang lainnya akan meningkatkan efektifitas
dan efisiensi produksi yaitu berupa peningkatan hasil produksi yang bersifat
ramah lingkungan. Konsep pertanian terpadu ini juga merupakan upaya petani
dalam memperbaiki sifat tanah dengan penambahan input bahan organik dari dalam
sistem pertanian itu sendiri.
Setelah ditelusuri ternyata hasil pertanian yang
rendah disebabkan oleh sifat tanah di derah tersebut. Pertanian tersebut berada
pada tanah Litosol yaitu tanah berbatu-batu. Bahan pembentuknya berasal dari
batuan keras yang belum mengalami pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini
juga disebut tanah azonal. Tanah mineral tanpa atau sedikit perkembangan
profil, batuan induknya batuan beku atau batuan sedimen keras, kedalaman tanah
dangkal (< 10 cm) bahkan kadang-kadang merupakan singkapan batuan induk (outerop),
terdapat kandungan batu, kerikil dan kesuburannya bervariasi. Tanah litosol
dapat dijumpai pada segala iklim, umumnya di topografi berbukit, pegunungan,
lereng miring sampai curam. Tanaman yang dapat tumbuh di tanah litosol terbatas
seperti rumput, palawija, dan tanaman keras. Penambahan
pupuk-pupuk kimia dan obat-obat pertumbuhan tidak
dapat menyelamatkan keadaan pertanian pada lahan ini. Pupuk Urea
yang diberikan pada tanah hanya akan membentuk gas NH3.
Salah satu penyelamat tanah yang dapat dilakukan adalah
dengan penambahan bahan organik. Bahan organik merupakan
bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks
dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang
yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami
perubahan bentuk,
karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Dover dan Talbot,L.M, 1987).
Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa
organik yang terdapat di dalam tanah,
termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik yang dihasilkan dalam sistem
pertanian terpadu ini memiliki peran penting dalam
menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman,
sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun,
kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun.
Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara
N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara
esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik
membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang
difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan
pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari
zona perakaran. Membentuk agregat tanah yang lebih baik
dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga
aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. Meningkatkan
retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.
Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan
muatan di dalam tanah. Mengimmobilisasi senyawa antropogenik
maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah. Meningkatkan
kapasitas sangga tanah (Hardjowigeno, 1989)
Usaha yang
dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalah dengan menggabungkan dua
subsistem utama yaitu peternakan dan pertanian. Pada bidang peternakan, di
lahan ini terdapat sekitar 17 ekor sapi yang kebanyakan sapi impor dari
Australia dan hanya beberapa yang berjenis lokal. Menurut pemiliknya, kondisi
sapi yang berjenis impor kurang bagus dalam berproduksi di daerah tersebut
karena ada ketidakcocokan lingkungan di daerah ini.
Analisis input
pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapi sebanyak 50 kilogram per hari.
Pakan yang diberikan pada sapi peternakan tersebut adalah jerami dan shorgum.
Terkadang untuk menambah nutrisi pakan jerami biasanya ditambah dengan pakan
konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. Jagung giling dapat di
ganti dengan ubi kayu. Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1% dari berat
bobot pakan. Karena kebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input dari
dalam belum mampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dari
luar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanya
mendapatkan air dari campuran pakan yang telah diberikan.
Analisis output
dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin dan feces yang dihasilkan oleh
sapi. Dalam satu tahun sapi dapat menghasilkan pupuk kandang sekitar 5,4 ton
dengan rincian tiap hari menghasilkan 15 kilogram kotoran. Dikaitkan dengan
kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa sejumlah lima ekor sapi mampu
mencukupi kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat menjadi
pupuk kandang biasanya diakukan dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang
dapat langsung digunakan pada lahan pertanian. Selain output dari hasil pupuk
kandang, peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan
ternak. Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut
sangat tepat. Sapi dapat digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi
pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertanian
tersebut memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga
berturut-turut sebanyak 10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah 17
ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu terdiri dari jenis Simental, Limousin dan
Berangus. Dari jumlah tersebut sapi dapat dijual sebagian untuk membantu
pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi tetap dipertahankan untuk
pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke depan. Keunggulan lainnya
adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang singkat. Pemeliharaan sapi
dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan 8-12 bulan.
Hasil pupuk
kandang dari peternakan yaitu dalam satu hektar lahan pertanian tersebut dapat
dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi. Satu ekor sapi dapat
memproduksi 15 kilogram kotoran tiap hari sehingga dalam setahun dapat mencapai
5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk. Sistem pertanian dalam sistem
pertanian terpadu berupa penanaman secara multiple cropping. Jenis pertanian
yang diusahakan adalah penanaman tanaman musiman jagung, ketela pohon, cabai,
kacang tanah dan sawi serta tanaman keras berupa jati dan sengon.
Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa lahan pertanian ini merupakan lahan dengan jenis tanah
litosol. Unsur hara makro dan mikro akan sulit diserap oleh tanaman dalam pH
yang tinggi. pH tinggi juga menyebabkan pengendapan logam-logam berbahaya
seperti besi, mangan, tembaga dan sebaginya. Unsur-unsur tersebut sukar larur
dalam pH yang tinggi. Dari keadaan lahan yang seperti itu maka peran bahan
organik baik dari pupuk kandang atau seresah sangat diperlukan. Bahan organik
berangsur-angsur memperbaiki dan menyangga tanah dengan menghasilkan asam –
asam organik. Asam- asam organik ini dapat menetralkan pH tanah.
Berhubungan
dengan hal tersebut input yang diberikan pada pertanian ini adalah bahan
organik yang berasal dari seresah daun, jerami, atau hasil sampingan peternakan
sapi yang telah terdekomposisi. Pengolahan feses dan urin sapi masih dengan
bantuan petani, biasanya dilakukan penambahan Stardek, EM4 atau Bio Fit yang
berfungsi sebagai akselerator pematangan feses dan urin agar dapat dijadikan
pupuk bagi tanaman.
Jerami juga
dapat dikomposkan menjadi pupuk kompos bagi tanaman. Meskipun jerami tersebut
tidak diberi biodekomposer, tetapi telah ada biodekomposer alami (pelaku/aktor
yang merombak bahan organik secara alami). Bedanya dengan biodekomposer yang ditambahkan,
kemampuannya sudah lebih terseleksi akan lebih cepat terurai. Pada prinsipnya
proses pelapukan adalah suatu proses alamiah dlm rangka mikroba(dekomposer)
memanfaatkan jerami sebagai sumber energinya, untuk membangun biomassa. Untuk
pertumbuhan dan perkembangan butuh rasio C, N, P. Untuk menjadikan jerami
menjadi biomassa sebagai sumber karbon dari biomasannya, maka rasio dari unsur
hara harus sebanding dengan rasio unsur hara di dalam sel, bakteri, jamur
maupun actinomycetes. Misal bakteri, rata- rata setiap 5 bagian C butuh 1
bagian N. (C/N ratio 5:1) dikatakan untuk mempercepat proses dekomposisi C/N
mendekati 1. Proses alamiah tersebut menjadikan jerami sebagai sumber karbon,
nitrogen dan unsur hara. Untuk mempercepat proses dekomposisi pada jerami dapat
dilakukan dengan :
a. Penambahan mikrobia yang
spesifik untuk penguraian.
b. Jerami perlu mendapat perlakuan dengan cara dibolak balik, ditusuk,
dipotong potong kemudian diperkecil ukurannya hal ini bertujuan agar daya
jangkau mikroba dalam pembusukan berjalan lebih cepat.
c. Diperkaya dengan nutrisi lain untuk agar perbandingan (jerami di atas
100), kalau 100 =100 bagian carbon dan 1 bagian N, padahal mikroba agar bisa
memakan semua 5/1, jadi butuh 20. 20 unsur hara bahan organik lain yang mengandung
kira-kira setara dengan 20 bagian. Ditambah bahan organik yang kira-kira N
lebih tinggi, paling mudah diberi pupuk urea. Jadi dengan semakin memperbanyak
BO (kaya nutrisi) maka semakin mudah terdekomposisi.
Input lain yaitu
berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit digunakan taktik pengendalian
hayati. Pengendalian ini dengan menggunakan senyawa atraktan, berupa metyl
eugenol. Taktik ini berfungsi untuk menarik serangga lalat buah jantan melalui
aromanya. Sehingga lalat akan terkecoh dan masuk dalam perangkap.
Output yang
dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman jagung dapat
menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, dengan harga jual Rp
2000/kilogram. Ketela pohon dapat menghasilkan lebih dari 9 kg/ batang. Cabe merah
dapat menghasilkan ½ kg satu tanaman dengan harga Rp 2000/kg. Sawi dapat
menghasilkan 3 kg / m3 dengan luas lahan 8000 m3 dan harga jual Rp 1000/ kg.
Selain itu terdapat hasil sampingan berupa seresah daun, rumput, dan brangkasan
yang berguna untuk pakan sapi pada peternakan disana, atau dimanfaatkan untuk
cadangan pupuk musim tanam berikutnya.
Dari dua
pengamatan sistem peternakan dan pertanian maka didapat bahwa tiap sistem
tersebut memberikan kontribusi dalm pemenuhan kebutuhan nutrisi dan pakan secara
terus menerus. Peternakan mendapat keuntungan dari hasil sampingan pertanian
berupa pakan rumput, sorghum, ketela dan sebagainya. Sedangkan pertanian
tanaman budidaya tersebut juga mendapat keuntungan dari hasil sampingan
peternakan, dan hasil seresah itu sendiri sebagai bahan organik. Dari pihak
petani juga akan mendapat keuntungan yaitu dengan hasil produksi utama dari
pertanian dan peternakan yang dapat dijual atau dikonsumsi sendiri tanpa
menganggu keseimbangan dan keterpaduan sistem pertanian tersebut.
Analisis untuk
ekonomi yang ada di Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng
Duwur, Gemolong, Sragen adalah dengan sistem polykultur (tumpang sari) terdapat
dari dua usaha, yaitu usaha tani dan usaha ternak. Usaha ternak dengan 17 ekor
sapi selain dimanfaatkan untuk membantu dalam sistem tertutup yang limbahnya
dipergunakan sebagai input, tetapi juga dipergunakan sebagai pendapatan dengan
menjual sapi yang sudah bobot nya terpenuhi. Biasanya 5 sapi dapat dipergunakan
untuk mencukupi pupuk kandang dengan luas lahan 5 hektar. Jadi, dalam 1 tahun
bisa menghasilkan pupuk kandang sebesar 15kg/hari×360 hari×5 ekor = 27000 kg =
27 ton/tahun. Sapi yang sudah besar dijual dengan harga Rp 20.000,00/kg.
Apabila dalam memelihara ternak membeli pakan dan membutuhkan tenaga dari luar
maka biaya yang dibutuhkan setiap hari untuk 1 ekor sapi sebesar Rp
11.600,00/hari. Setelah dihitung dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan sapi
dengan hasil yang diperoleh dari menjual sapi mendapatkan keuntungan sebesar Rp
8.400,00/hari.
Hasil usaha tani
yang dijual seperti jagung, ubi kayu, cabai, kacang tanah dan sawi. Hasil dari
usaha tani selain dikonsumsi juga dijual untuk memutar uang yang ada agar dapat
memproduksi kembali. Hasil jagung yang didapatkan selama tiga tahun sebesar 4-5
ton dengan harga jual Rp 2.000/kg. Jadi, pendapatan yang diperoleh dari usaha
tani jagung sebesar 4.000 kg× Rp 2.000,00 = Rp 8.000.000,00. Sawi dengan luas
lahan 1m2 menghasilkan 3kg dengan harga jual Rp 1.000,00/kg selama masa tanam
40 hari. Jadi, 8.000 m2×3 kg×Rp 1.000,00= Rp 24.000.000,00/Ha. Ubi kayu dapat
menghasilkan 3kg/batang yang biasanya ditanam tumpang sari dengan jagung,
kacang tanah dan juga cabai.
Berdasarkan BEP
kita dapat mengetahui bagaimana seharusnya batas minimal hasil yang kita
peroleh untuk mendapatkan titik impas agar tidak rugi. Setelah kita mengetahui
titik impas tersebut setidaknya kita berusaha untuk melewati batasan titik
impas baik dalam unit maupun rupiah agar kita mendapatkan laba/keuntungan dalam
mengelolah usaha tani dan usaha ternak. Serta membuktikan bahwa sistem
pertanian terpadu memberikan laba yang lebih tinggi di masa yang akan datang.
Hal ini dikarenakan, input yang dipakai diperoleh dari dalam juga dengan
menggunakan output yang dihasilkan.
Kebun
Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong Sragen
memiliki pengolahan tanah yang terpadu, karena dalam pengolahan hanya
menggunakan cangkul untuk menggemburkan tanah dan di bantu oleh pupuk kandang
dalam menyuburkan tanahnya. Pola penanaman digunakan dengan pola tumpang sari
yang di dalamnya di tanam lebih dari satu tanaman atau multiple cropping. Unsur
hara yang pada awalnya sedikit menjadi tersedia dalam jumlah yang cukup
semenjak dilaksanakan kegiatan pertanian terpadu karena bahan organik yang
diperoleh dari pupuk kandang membantu dalam menurunkan pH tanah dan menambah
hara essensial mikro. Pengembangan pertanian terpadu di kebun ini meminimalkan
penggunaan pestisida. Apabila organisme pengganggu tanaman belum melewati ambang
ekonomi maka masih dapat dipergunakan pengendalian hama terpadu dengan
menggunakan musuh alami dan perangkap untuk menangkap hama. Pemasaran untuk
hasil-hasil pertanian dilakukan dengan
menjual hasil-hasilnya ke pedagang sayur agar dapt langsung di pasarkan dengan
keadaan hasil pertanian yang masih segar. Selain hasil pertanian ternyata di
pengembangan pertanian terpadu ini juga memasarkan ternak yang bobotnya sudah
cukup untuk dijual. Pengamatan yang dilaksanakan di lapangan dapat diketahui
bahwa lahan tersebut sudah melaksanakan sistem pertanian terpadu. Input
(masukan) dan output (keluaran) yang digunakan saling berkaitan dengan sistem
tertutup. Memperkecil input dari luar, dalam hal ini input dari luar hanya
digunakan pada awal memulainya sistem ini.
KESIMPULAN
Guna mempertahankan dan meningkatkan produksi
pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan
sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan.
Berbagai bentuk pendekatan yang dapat diterapkan, diantaranya adalah : sistem
tanam ganda; komplementari hewan ternak dan tumbuhan; usaha terpadu peternakan
dan perkebunan; agroforestry; pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik;
dan pengelolaan hama terpadu. Berbagai pendekatan tersebut dilaksanakan secara
terpadu, dan untuk mendukung keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi
teknologi yang di rancang berdasarkan kesesuaian dengan kondisi wilayah baik
bio-fisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
Dalam sistem pertanian terpadu berkaitan dengan input,
proses produksi dan output. Proses input berkaitan dengan sumber daya alam dan
sumber daya manusia, pada proses produksi berhubungan dengan waktu dan
lingkungan sedangkan pada output berkaitan dengan pangan, peternakan,
perikanan, perkebunan dan kehutanan. Hal ini saling berkaitan karena apabila
salah satu komponen yang ada di dalamnya rusak atau hilang akan mempengaruhi
keadaan dan ketersediaan komponen lain.
Keunggulan sistem pertanian terpadu, bersifat :
1. Efisiensi pada pemanfaatan sumber daya alam secara
optimum
2. Mandiri dimana sistem dapat berjalan dengan input
luar minimum
(LEISA) dan bersifat closed system
3. Berkelanjutan
yang berarti bahwa sistem ini ramah lingkungan dan lebih menguntungkan serta
kearifan lokal dan dapat diterima masyarakat
Untuk kendala pada sistem pertanian terpadu itu
sendiri antara lain :
1. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai
keberlanjutan sistem pertanian
2. Hasil
produksinya lebih sedikit bila dibandingkan dengan sistem pertanian
konvensional
3. Dibutuhkan tenaga kerja yang lebh intensif
Sistem pertanian terpadu akan selalu tersedia apabila
komponen-komponen yang ada selalu dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik dan
penggunaannya tidak berlebihan, sehingga dapat selalu tersedia dan dapat di
manfaatkan. Jadi banyaknya pemanfaatan sumber daya alam saat ini akan sangat
membantu kelestarian komponen dari sistem pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000.
Ketika Kebun Berupa Hutan. Agroforestri Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan
Masyarakat. International Centre For Research In Agroforestry. Bogor.
Anonim. 2001. Sistem Pertanian di Indonesia.http://www.lab link.or.id. Diakses
pada tanggal 22 Mei 2010 pukul 17.00 WIB
Danoesastro,
Haryono. 1979. Pemanfaatan Pekarangan. Yayasan Pembina Fakulas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Dover,M. dan
Talbot,L.M., 1987. To Feed The Earth: Agroecology for Sustainable Development.
World Resources Intitute. Washington DC.
Handayanto, E.
1999. Pengelolan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang.
Hardjowigeno,
S., 1989. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta
Manuwoto.2009. Sistem Pertanian di Indonesia.
Manuwoto.2009. Sistem Pertanian di Indonesia.
Http://makhey.blogspot.com/2009/09/sistem-pertanian-di-indonesia. Diakses pada tanggal 12
November 2011.
Monika, WT et
al. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret Universitas
Press. Surakarta.
Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari minat
Pengelolaan Berkelanjutan
Sebagai Konsep
Pengembangan Wilayah Lahan Kering.Makalah Seminar Nasional dan Pelatihan
Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember
Pusat Peneliti Universitas Brawijaya. 1991. Penelitian
dan Pengembangan Sistem
Usaha Tani Lahan
Kering Yang Berkelanjutan. Proseding Simposium Nasional Malang. Universitas
Brawijaya. Malang
Reijntjes,C.,
B.Haverkot dan A. W. Bayer., 1999. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk
Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta.
Sugito, Y., Y. Nuraini dan E. Nihayati. 1993. Sistem
Pertanian Organik. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Syekhfani. 1993. Pengaruh sistim pola tanam terhadap
kandungan bahan organik
dalam mempertahankan kesuburan tanah. Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi di Universitas
Lampung. Bandar Lampung
0 komentar:
Posting Komentar
demi melengkapi tulisan ini,sangat dibuttuhkan komentar anda
S I L A H K A N K O M E N T A R............