Rabu, 21 Maret 2012

SISTEM PETANIAN TERPADU


PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

Pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya. Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai.
Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam sayuran. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk mendapatkan penghasilan.
Pertanian terpadu merupakan pilar kebangkitan bangsa Indonesia dengan cara menyediakan pangan yang aktual bagi rakyat Indonesia. Dalam segi ekonomi pertanian terpadu sangat menguntungkan bagi masyarakat karena output yang dihasilkan lebih tinggi dan sistem pertanian terpadu ini tidak merusak lingkungan karena sistem ini ramah terhadap lingkungan. Output dari pertanian terpadu juga bisa digunakan Selain itu limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi biomassa. Bekas jerami, batang jagung dan tebu memiliki potensi biomas yang besar.

2. Maksud dan Tujuan Pratikum
Maksud dan tujuan dari pratikum Sistem Pertanian Terpadu ini adalah :
1.Memberikan pengetahuan praktis (hard skill) kepada   mahasiswa   tentang
   peran faktor lingkungan (biotik dan abiotik) dalam sistem pertanian.
2.Melatih mahasiswa untuk dapat menganalisis komponen-komponen dalam
   sistem   pertanian   dan   menuangkannya   dalam  bentuk   bahasan   yang
   mengupas kondisi di setiap tipe sistem pertanian.
3.Secara   khusus   tujuan   pratikum  ini   adalah  melatih  mahasiswa  untuk
   berfikir secara holistik berdasarkan wawasan mahasiswa terhadap interaksi komponen dalam sistem pertanian dan menelusuri peran lingkungan di setiap tipe sistem pertanian.


















HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sistem Sawah Lahan Basah dan Lahan Kering
a. Sawah lahan basah
Secara umum sistem pertanian di Indonesia, khususnya yang menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah(sawah) dan pertanian lahan kering. Seperti diketahui, pembangunan pertanian di Indonesia selama ini terfokus pada peningkatan produksi pangan, terutama beras (Manuwoto, 2009).
Lokasi pengamatan sistem sawah dilaksanakan di daerah Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar. Sawah-sawah di daerah ini diolah dengan terasering. Pola tanam yang digunakan adalah monokultur. Tanaman yang ada hanya padi dan beberapa pohon pisang. Pohon pisang di sini selain diambil buahnya juga berfungsi sebagai pematah angin, agar padi tidak roboh. Sawah harus selalu basah, untuk itu sawah harus selalu tergenang air. Apabila debit air untuk daerah tertentu sangat terbatas, dapat diatasi dengan cara hanya menggenangi sawah pada saat tanaman masih kecil. Yang pasti satu atau dua minggu sebelum panen, padi harus selalu digenangi agar kuningnya merata.
Input yang diberikan untuk sawah kebanyakan pupuk anorganik, sawah ini jarang diberi input pupuk organik. Outputnya berupa gabah yang akan diolah menjadi beras dan hasil sampingan berupa pisang. Jerami dari padi dapat digunakan sebagai pakan ternak sedangkan akarnya ditinggal untuk kemudian diolah bersama tanah. Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan pupuk anorganik yang masih mendominasi di sawah. Hal ini masih kurang diperhatikan oleh petani. Penggunaan pupuk anorganik yang terus - menerus dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem dan lingkungan di sekitar sawah.
Penggunaan pupuk buatan/kimia yang berkonsentrasi tinggi dan tidak proporsional pada lahan sawah berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah. Dampak lain adalah menyusutnya kandungan bahan organik tanah karena berkurangnya penggunaan pupuk organik. Dilaporkan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen (Sugito et al, 1993). Sementara, sistem pertanian dapat menjadi berkelanjutan (sustainable) apabila kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 persen (Handayanto, 1999).

b. Sawah lahan kering
Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Untuk memudahkan pengutaraan dalam penyajian ini, yang dimaksud lahan kering adalah lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering berada di lahan atasan. Belakangan ini pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadinagoro,1997).
Sawah dikenal mempunyai teknik budidaya tinggi , sistem pengelolaan yang sudah baik, stabilitas kesuburannya lebih baik. Pada sawah tadah hujan ini pengelolaan air tergatung pada curah hujan yang ada. Pengairan tergantung pada curah hujan dan sumur gali yang biasanya terdapat di tengah sawah. Sistem pengairan antar lahan sawah dilakukan dengan pemanfaatan parit dan terasering yang menyalurkan air dari lahan tinggi ke rendah. Penambahan input khususnya pupuk yang diberikan pada lahan sawah ini terbagi menjadi dua yaitu kimiawi dan organik. Pupuk kimia yang digunakan adalah pupuk Urea dan Phonska. Sedangkan penggunaan pupuk organik cukup tinggi yaitu berupa penggunaan kembali biomass/kompos jerami serta kotoran ternak milik petani sendiri (Pusat Peneliti Universitas Brawijaya, 1991)
Pada lahan terlihat kandang-kandang ternak unggas yang disejajarkan dengan lahan sawah. Ini bertujuan untuk mempermudah penambahan bahan organik pada lahan sawah tersebut. Suhu, kelembaban dan sinar matahari di sawah dalam takaran yang cukup. Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis. Hasil pengamatan di lahan sawah daerah pengamatan Kecamatan Nogosari, Boyolali dapat diketahui bahwa sawah tersebut merupakan lahan tadah hujan, dengan ciri utama lahan tidak tergenang air dan menggunakan konsep terasering. Jenis padi yang ditanam adalah varietas gogo atau padi tegal.
Penggunaan input pestisida adalah dengan penyemprotan berkala. Terdapat kearifan lokal pada teknik pengelolaan hama yaitu pemasangan orang-orangan sawah setiap 10-15 meter. Orang-orangan sawah tersebut membantu petani untuk mengusir hama burung. Hasil output yang dibawa keluar adalah hasil utama panen gabah dan beberapa jerami. Jerami biasanya untuk pakan ternak. Sedangkan jerami sisanya menurut petani masih ditumpuk dan disisakan di pinggir sawah untuk persiapan pemupukan musim tanam depan. Selain itu ada output sampingan berupa hasil dari tanaman yang ditanam di pinggir sawah namun dengan nilai ekonomis kecil dan hanya untuk konsumsi pribadi seperti pisang, ketela pohon dan kayu bakar.
Menyangkut diversitas pada sistem sawah ini cukup baik. Walaupun sebagian besar didominasi oleh tanaman padi pada tegalan sawah masih disisakan untuk ditanami tanaman rumput gajah, ketela pohon, pisang dan tanaman peneduh sengon. Hal ini untuk memanfaatkan lahan yang tersisa dan kebutuhan pakan ternak seperti penanaman rumput gajah dan ketela pohon. Sedangkan pengamatan mengenai pergiliran tanaman belum cukup informasi sehingga belum diketahui varietas apakah yang dipakai dan bagaimana pola tanam disana. Rantai makanan (siklus hara) pada pengamatan sawah lahan kering ini terlihat terdapat beberapa siklus energi tetap. Adanya biomassa yang terus diupayakan pada pertanian ini yaitu dengan penggunaan jerami. Jerami tersebut biasanya ditumpuk dipinggir sawah dengan bentuk kubah dan dibiarkan membusuk. Sedangkan beberapa jerami dibawa keluar untuk pakan ternak. Namun ternak tersebut masih berkontribusi dengan kotorannya yang tetap dijadikan pupuk. Penyisihan jerami tersebut sudah merupakan langkah tepat untuk keterpaduan dan pemenuhan kebutuhan unsur hara tanah.

2. Sistem Tegal
Sistem pertanian tegal merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang terjadi karena sistem hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah yang berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian (Anonim, 2001).
Selain sawah, daerah pertanian yang telah diamati di Kecamatan Nogosari juga merupakan pusat penghasil sayuran. Berdasarkan pengamatan di lokasi pertanian tersebut berada pada tanah kering atau tidak tergenang dan ditanami dengan bermacam-macam jenis tanaman musiman. Sebagian besar tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman sayuran seperti kenikir, cabai, bayam, kangkung dan jagung.
Metode pengolahan tanah yang dilakukan adalah dengan cara konvensional yaitu pencangkulan dan membuat sistem irigasi di pinggir lahan. Pengolahan lahan dilakukan dengan membuat petak-petak dan masing- masing petak biasanya ditanami tanaman yang berbeda. Dimana tanah diolah sesuai kebutuhan petani. Petani hanya sekedar mengolah tanah tersebut untuk tujuan penggemburan agar bibit mudah ditanam. Pengolahan tersebut juga berkaitan dengan penyiangan rumput-rumput liar yang hidup disekitar tanaman budidaya.
Pola penanaman di daerah tersebut berupa pola tanam tumpangsari. Pola penanaman ini memiliki biodiversitas tanaman yang cukup tinggi dimana dalam satu lahan biasanya terdiri dari 4-5 jenis tanaman musiman. Misalnya pada salah satu lahan terdapat tanaman bayam, kangkung, dan kenikir sebagai tanaman inti. Pada bagian pinggir lahan ditanami tanaman jagung dan ketela pohon. Dengan diversitas tinggi tersebut beberapa lahan telah menerapkan jarak tanam yang baik. Dapat terlihat bahwa penanaman tanaman lombok dilakukan jarak tanam yang lebar. Sedangkan beberapa tanaman sayuran ditanam dengan jarak yang cukup teratur. Penanaman tumpangsari ini belum sepenuhnya aman dari gangguan dari luar, misalnya gangguan hama yang bersifat polifag.
Secara umum lahan tersebut berada pada intensitas cahaya matahari yang tinggi dan suhu yang tinggi. Pengairan yang dilakukan menggantungkan pada curah hujan yang ada. Namun beberapa lahan tegal terdapat sumur yang berfungsi mengairi lahan apabila kebutuhan air masih kurang. Biasanya petani sudah tahu kapan saat yang tepat untuk menanam sehingga kebutuhan air dapat terpenuhi.
Input pupuk yang digunakan dalam budidaya lahan tegal adalah pupuk kimia dan pupuk organik. Pupuk organik yang digunakan adalah kotoran kambing hasil ternak dan kompos jerami, petani yang diwawancarai memberitahukan bahwa sebanyak 15 ekor kambing dapat memberikan kontribusi pupuk kandang pada luas sekitar 200 m2. Terdapat pemanfaatan seresah dan gulma yang ada disekitar lahan. Petani dapat memanfaatkan daun-daun ketela pohon, jagung dan rumput- rumputan untuk memberi makan ternak kambingnya. Output dari sistem pertanian tegal ini adalah hasil sayuran budidaya berupa jagung dan ketela. Sedangkan daun ketela tetap digunakan petani untuk pakan ternaknya.

3. Sistem Talun dan Pekarangan
a. Talun (tegal pekarangan)
Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun (Anonim, 2000).
Pengamatan sub sistem talun dilaksanakan di Jumantono. Talun di Jumantono ini merupakan lahan kering, apabila musim hujan tanaman banyak sehingga talun akan terlihat hijau, namun pada musim kering talun terlihat tidak sehijau pada musim hujan. Usaha yang dilakukan petani untuk mengkonservasi lahannya dengan cara membuat talunnya berupa terasering dengan pola tanam campuran. Selain itu, pencegahan erosi juga dilakukan dengan cara menanam pohon jati di batas – batas teraseringnya. Tanaman yang terdapat di talun ini adalah kacang tanah, jagung, jati, mangga, dan singkong. Jarak tanam yang diterapkan cukup teratur meskipun agak tidak rapi. Pada petak kacang tanah di sekelilingnya ditanami jagung dan singkong dan di tengah - tengahnya terdapat pohon mangga dan jati. Sedangkan pada petak jagung penanaman lebih teratur, si sekelilingnya ditanami singkong dan di tengah – tengahnya juga terdapat jati.Hama yang sering menyerang di lahan ini adalah belalang yang menyerang daun kacang tanah dan ulat jati, yang khusus menyerang jati saja.
Input yang diberikan kepada talun berupa pupuk, sedikit pupuk anorganik berupa urea dan banyak pupuk organik. Pupuk anorganik berasal dari daun kacang yang rontok yang dibiarkan begitu saja sehingga bisa menjadi pupuk bagi tanaman, sedangkan hijauan kacang tanah digunakan sebagai pakan ternak yang kemudian kotoran hewan tersebut digunakan sebagai pupuk. Selain dari daun kacang, pupuk organik juga berasal dari sisa hasil tepung tapioka yang diambil dari pabrik tepung tapioka yang terletak di sekitar talun. Output yang dihasilkan dari lahan berupa kacang tanah, jagung, mangga, dan singkong. Komoditi kacang tanah di sini kualitasnya terbukti sangat bagus. Siklus hara yang terjdi yaitu daur siklik karena hasil yang ditanam pada akhirnya juga dikembalikan lagi ke tanah yang sama.
b. Pekarangan
Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika (Danoesastro, 1978).
Pengamatan sistem pekarangan dilakukan di Jumantono. Pekarangan ini tidak mempunyai sistem pengolahan tanah dan tidak mempunyai sistem pola tanam. Tanaman – tanaman yang ada antara lain : pisang, kacang panjang, bayam, bambu, melinjo, pare, ciplukan, pepaya, jarak, jati, cabe, dan lain-lain. Siklus hara yang terjadi adalah siklik atau tertutup. Tanaman dengan akar yang dalam akan mengambil hara kemudian diangkut ke atas permukaan sehingga dapat dimanfaatkan juga oleh tanaman yang akarnya tidak terlalu dalam.
Jenis tanamannya lebih lengkap mulai dari tanaman tahunan, tanaman semusim, sayur-sayuran, buah-buahan, serta tanaman obat. Jarak tanamnya tidak teratur karena ditanam sendiri dan hasilnya juga untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Pengolahan tanahnya tidak memerlukan perlakuan khusus artinya seadanya saja. Misalnya pada pemberian pupuk, tidak diberi pupuk secara langsung. Penambahan pupuk sangat minim, bahkan tanpa pupuk. Pupuk berasal dari tanaman itu sendiri, daun-daun yang sudah gugur jatuh ke tanah kemudian mengalami pelapukan sehingga secara tidak langsung seresah-seresah tersebut menjadi pupuk bagi tanaman. Kebutuhan air didapat dari air hujan, sehingga tergantung dari air hujan.
Siklus haranya siklik, tertutup artinya hasil dari pekarangan digunakan untuk keperluan sendiri. Misalnya pada tanaman juar daunnya untuk pupuk dan kayunya digunakan untuk bahan bangunan. Siklus hara umum misal N juga dapat tambahan dari air hujan, ada tambahan dari air permukaan. Jika musim seperti ini, tanaman lebih bervariasi, namun jika musim kemarau lebih terdominasi oleh tanaman tahunan.tanaman di sini sering dikonsumsi sendiri karena hasilnya juga tidak begitu banyak.

4. Sistem Perkebunan

Lokasi pengamatan sistem perkebunan berada di daerah perkebunan teh, tepatnya di daerah Kemuning. Pada lahan perkebunan ini tanaman yang ditanam berupa tanaman semusim. Sebenarnya lahan ini kurang cocok bila ditanami tanaman semusim. Namun karena terdesak kebutuhan ekonomi, selain teh, warga juga menanam wortel meskipun hasilnya tidak terlalu bagus.
Pengolahan tanah yang dilakukan di perkebunan teh Kemuning menggunakan sistem terasering dan memiliki pola tanam monokultur. Artinya, lahan ini hanya ditanami oleh satu jenis tanaman saja yaitu teh. Para petani di daerah ini juga menanam cengkeh, pisang, jagung, dan wortel . Tanaman cengkeh digunakan untuk menaungi tanaman utama yang terletak di bawahnya agar tanaman terlindung dari terpaan angin. Jadi, fungsi cengkeh di sini juga sebagaiwindbr eaker atau pematah angin. Untuk pencegahan erosi, teh yang ditanam sangat rapat dengan tajuk saling menaungi.
Input yang digunakan untuk perkebunan teh berupa pupuk nitrogen. Sedangkan outputnya berupa daun teh, cengkeh, wortel, pisang, dan jagung. Pada lahan ini tidak ada masa terbuka, selain karena sistem yang digunakan adalah labirin, juga karena jarak tanamnya rapat sekali. Sebagai informasi tambahan, untuk pembibitan, tanaman teh ditanam agak renggang ( ± 160 cm per tanaman ). Sedangkan untuk konsumsi, lebih rapat dengan jarak tanam ± 70 cm per tanaman.
Di sekitar perkebunan teh terdapat cengkeh, jika ditanami tanaman semusim disekitar perkebunan teh tersebut akan terjadi longsor. Jarak tanan teh dan cengkeh sangat teratur, perakaran dari teh dan cengkeh sangat dalam, sehingga mampu menahan parit-parit dibawah yang mengalir terus-menerus. Siklus hara yang terjadi adalah non siklik. Karena pucuk tanaman teh setelah dipetik akan dibawa ke pabrik untuk diolah dan tidak kembali lagi ke lahan. Pola tanam tidak boleh searah dengan kemiringan. Jadi harus melintang agar tidak mudah terjadi longsor.
Tanaman yang baik ditanam pada lahan yg miring adalah pohon-pohon besar. Tidak ada tanaman semusim. Secara konservasi memang bagus, tanaman teh perlu peremajaan. Jadi, tanaman teh dibabat sampai habis, nanti secara otomatis akan tumbuh lagi, biasanya untuk bibit. Tinggi tanaman selalu diatur tingginya, pemeliharaannya sangat ekstra. Harus selalu dipangkas pucuknya. Hama penyakit sangat jarang dan tidak terlalu mengkhawatirkan karena ada musuh alami juga, seperti burung, serangga lain. Dan inilah yang sangat diperlukan, karena masih alami.

5.  Sistem Pertanian Terpadu

Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut : kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang. Namun demikian, pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya.
Akibat selanjutnya menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999). Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan.
Sistem tumpangsari tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya merupakan komponen kedua. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra, hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil ternak, menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah pengumpulan buah kelapa. (Moningka et al, 1993) menjelaskan keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain : (1) tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress karena panas, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak, membatasi pertumbuhan gulma, (4) mengurangi penggunaan herbisida, (5) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya.
Pelaksanaan praktikum Sistem Pertanian Terpadu ini dilaksanakan di Desa Genengduwur, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen pada tanggal 8 Mei 2010. Lahan pada daerah ini memiliki ketinggian sebesar 170 m dpl, dengan koordinat 70 23’28”BB serta 1100 50’565”BT. Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap sistem peternakan dan pertanian yang saling terpadu. Pelaksanaan pertanian terpadu meliputi pelaksanaan pertanian terpadu, analisis peningkatan kesuburan tanah serta analisis ekonomi pertanian terpadu.
Asal mula pengembangan Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong, Sragen adalah dikarenakan keprihatinan salah satu warga, Bapak Sumaryo, terhadap keadaan penduduk miskin di sekitar tempat tinggalnya. Kemiskinan tersebut karena hasil pertanian rendah. Pertanian merupakan mata kunci perekonomian di daerah tersebut. Sejarah dimulainya lahan di daerah Genengduwur ini dimulai pada tahun 1986 sampai tahun 1993 yang dirintis oleh Bapak Sumaryo. Bapak Sumaryo mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, khususnya dari uang pada saat menjadi dekan selama 3 tahun di Fakultas Pertanian Universitas Slamet Riyadi Solo untuk menyewa lahan di sini mulai tahun 1986, karena akan mencoba memecahkan kemiskinan petani pada lahan yang tanahnya putih, namun pada tahun 1993 – 2006 sempat vakum. Pada tahun 2006 Bapak Suryono dan Suroyo ikut bergabun ke dalam tim Yayasan Wiyata Dharma yang mengolah dan mendanai kegiatan pertanian di daerah tersebut.
Pertanian terpadu merupakan konsep pemanfaatan lahan yang tersedia semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk pertanian yang beraneka ragam dengan kualitas tinggi. Hasil yang beragam dari tiap komoditas pertanian tersebut diolah kembali untuk sumber masukan energi dalam melakukan aktivitas pertanian lainnya. Pemanfaatan komponen-komponen pertanian yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yaitu berupa peningkatan hasil produksi yang bersifat ramah lingkungan. Konsep pertanian terpadu ini juga merupakan upaya petani dalam memperbaiki sifat tanah dengan penambahan input bahan organik dari dalam sistem pertanian itu sendiri.
Setelah ditelusuri ternyata hasil pertanian yang rendah disebabkan oleh sifat tanah di derah tersebut. Pertanian tersebut berada pada tanah Litosol yaitu tanah berbatu-batu. Bahan pembentuknya berasal dari batuan keras yang belum mengalami pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini juga disebut tanah azonal. Tanah mineral tanpa atau sedikit perkembangan profil, batuan induknya batuan beku atau batuan sedimen keras, kedalaman tanah dangkal (< 10 cm) bahkan kadang-kadang merupakan singkapan batuan induk (outerop), terdapat kandungan batu, kerikil dan kesuburannya bervariasi. Tanah litosol dapat dijumpai pada segala iklim, umumnya di topografi berbukit, pegunungan, lereng miring sampai curam. Tanaman yang dapat tumbuh di tanah litosol terbatas seperti rumput, palawija, dan tanaman keras. Penambahan pupuk-pupuk kimia dan obat-obat pertumbuhan tidak dapat menyelamatkan keadaan pertanian pada lahan ini. Pupuk Urea yang diberikan pada tanah hanya akan membentuk gas NH3. Salah satu penyelamat tanah yang dapat dilakukan adalah dengan penambahan bahan organik. Bahan organik merupakan bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Dover dan Talbot,L.M, 1987).
Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik yang dihasilkan dalam sistem pertanian terpadu ini memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun.
Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. Membentuk agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. Meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah. Mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah. Meningkatkan kapasitas sangga tanah (Hardjowigeno, 1989)
Usaha yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalah dengan menggabungkan dua subsistem utama yaitu peternakan dan pertanian. Pada bidang peternakan, di lahan ini terdapat sekitar 17 ekor sapi yang kebanyakan sapi impor dari Australia dan hanya beberapa yang berjenis lokal. Menurut pemiliknya, kondisi sapi yang berjenis impor kurang bagus dalam berproduksi di daerah tersebut karena ada ketidakcocokan lingkungan di daerah ini.
Analisis input pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapi sebanyak 50 kilogram per hari. Pakan yang diberikan pada sapi peternakan tersebut adalah jerami dan shorgum. Terkadang untuk menambah nutrisi pakan jerami biasanya ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. Jagung giling dapat di ganti dengan ubi kayu. Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1% dari berat bobot pakan. Karena kebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input dari dalam belum mampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dari luar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanya mendapatkan air dari campuran pakan yang telah diberikan.
Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin dan feces yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu tahun sapi dapat menghasilkan pupuk kandang sekitar 5,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 15 kilogram kotoran. Dikaitkan dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa sejumlah lima ekor sapi mampu mencukupi kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat menjadi pupuk kandang biasanya diakukan dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang dapat langsung digunakan pada lahan pertanian. Selain output dari hasil pupuk kandang, peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan ternak. Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangat tepat. Sapi dapat digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertanian tersebut memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga berturut-turut sebanyak 10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah 17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu terdiri dari jenis Simental, Limousin dan Berangus. Dari jumlah tersebut sapi dapat dijual sebagian untuk membantu pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi tetap dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke depan. Keunggulan lainnya adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang singkat. Pemeliharaan sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan 8-12 bulan.
Hasil pupuk kandang dari peternakan yaitu dalam satu hektar lahan pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi. Satu ekor sapi dapat memproduksi 15 kilogram kotoran tiap hari sehingga dalam setahun dapat mencapai 5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk. Sistem pertanian dalam sistem pertanian terpadu berupa penanaman secara multiple cropping. Jenis pertanian yang diusahakan adalah penanaman tanaman musiman jagung, ketela pohon, cabai, kacang tanah dan sawi serta tanaman keras berupa jati dan sengon.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa lahan pertanian ini merupakan lahan dengan jenis tanah litosol. Unsur hara makro dan mikro akan sulit diserap oleh tanaman dalam pH yang tinggi. pH tinggi juga menyebabkan pengendapan logam-logam berbahaya seperti besi, mangan, tembaga dan sebaginya. Unsur-unsur tersebut sukar larur dalam pH yang tinggi. Dari keadaan lahan yang seperti itu maka peran bahan organik baik dari pupuk kandang atau seresah sangat diperlukan. Bahan organik berangsur-angsur memperbaiki dan menyangga tanah dengan menghasilkan asam – asam organik. Asam- asam organik ini dapat menetralkan pH tanah.
Berhubungan dengan hal tersebut input yang diberikan pada pertanian ini adalah bahan organik yang berasal dari seresah daun, jerami, atau hasil sampingan peternakan sapi yang telah terdekomposisi. Pengolahan feses dan urin sapi masih dengan bantuan petani, biasanya dilakukan penambahan Stardek, EM4 atau Bio Fit yang berfungsi sebagai akselerator pematangan feses dan urin agar dapat dijadikan pupuk bagi tanaman.
Jerami juga dapat dikomposkan menjadi pupuk kompos bagi tanaman. Meskipun jerami tersebut tidak diberi biodekomposer, tetapi telah ada biodekomposer alami (pelaku/aktor yang merombak bahan organik secara alami). Bedanya dengan biodekomposer yang ditambahkan, kemampuannya sudah lebih terseleksi akan lebih cepat terurai. Pada prinsipnya proses pelapukan adalah suatu proses alamiah dlm rangka mikroba(dekomposer) memanfaatkan jerami sebagai sumber energinya, untuk membangun biomassa. Untuk pertumbuhan dan perkembangan butuh rasio C, N, P. Untuk menjadikan jerami menjadi biomassa sebagai sumber karbon dari biomasannya, maka rasio dari unsur hara harus sebanding dengan rasio unsur hara di dalam sel, bakteri, jamur maupun actinomycetes. Misal bakteri, rata- rata setiap 5 bagian C butuh 1 bagian N. (C/N ratio 5:1) dikatakan untuk mempercepat proses dekomposisi C/N mendekati 1. Proses alamiah tersebut menjadikan jerami sebagai sumber karbon, nitrogen dan unsur hara. Untuk mempercepat proses dekomposisi pada jerami dapat dilakukan dengan :
a. Penambahan mikrobia yang spesifik untuk penguraian.
b. Jerami perlu mendapat perlakuan dengan cara dibolak balik, ditusuk, dipotong potong kemudian diperkecil ukurannya hal ini bertujuan agar daya jangkau mikroba dalam pembusukan berjalan lebih cepat.
c. Diperkaya dengan nutrisi lain untuk agar perbandingan (jerami di atas 100), kalau 100 =100 bagian carbon dan 1 bagian N, padahal mikroba agar bisa memakan semua 5/1, jadi butuh 20. 20 unsur hara bahan organik lain yang mengandung kira-kira setara dengan 20 bagian. Ditambah bahan organik yang kira-kira N lebih tinggi, paling mudah diberi pupuk urea. Jadi dengan semakin memperbanyak BO (kaya nutrisi) maka semakin mudah terdekomposisi.
Input lain yaitu berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit digunakan taktik pengendalian hayati. Pengendalian ini dengan menggunakan senyawa atraktan, berupa metyl eugenol. Taktik ini berfungsi untuk menarik serangga lalat buah jantan melalui aromanya. Sehingga lalat akan terkecoh dan masuk dalam perangkap.
Output yang dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman jagung dapat menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, dengan harga jual Rp 2000/kilogram. Ketela pohon dapat menghasilkan lebih dari 9 kg/ batang. Cabe merah dapat menghasilkan ½ kg satu tanaman dengan harga Rp 2000/kg. Sawi dapat menghasilkan 3 kg / m3 dengan luas lahan 8000 m3 dan harga jual Rp 1000/ kg. Selain itu terdapat hasil sampingan berupa seresah daun, rumput, dan brangkasan yang berguna untuk pakan sapi pada peternakan disana, atau dimanfaatkan untuk cadangan pupuk musim tanam berikutnya.
Dari dua pengamatan sistem peternakan dan pertanian maka didapat bahwa tiap sistem tersebut memberikan kontribusi dalm pemenuhan kebutuhan nutrisi dan pakan secara terus menerus. Peternakan mendapat keuntungan dari hasil sampingan pertanian berupa pakan rumput, sorghum, ketela dan sebagainya. Sedangkan pertanian tanaman budidaya tersebut juga mendapat keuntungan dari hasil sampingan peternakan, dan hasil seresah itu sendiri sebagai bahan organik. Dari pihak petani juga akan mendapat keuntungan yaitu dengan hasil produksi utama dari pertanian dan peternakan yang dapat dijual atau dikonsumsi sendiri tanpa menganggu keseimbangan dan keterpaduan sistem pertanian tersebut.
Analisis untuk ekonomi yang ada di Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong, Sragen adalah dengan sistem polykultur (tumpang sari) terdapat dari dua usaha, yaitu usaha tani dan usaha ternak. Usaha ternak dengan 17 ekor sapi selain dimanfaatkan untuk membantu dalam sistem tertutup yang limbahnya dipergunakan sebagai input, tetapi juga dipergunakan sebagai pendapatan dengan menjual sapi yang sudah bobot nya terpenuhi. Biasanya 5 sapi dapat dipergunakan untuk mencukupi pupuk kandang dengan luas lahan 5 hektar. Jadi, dalam 1 tahun bisa menghasilkan pupuk kandang sebesar 15kg/hari×360 hari×5 ekor = 27000 kg = 27 ton/tahun. Sapi yang sudah besar dijual dengan harga Rp 20.000,00/kg. Apabila dalam memelihara ternak membeli pakan dan membutuhkan tenaga dari luar maka biaya yang dibutuhkan setiap hari untuk 1 ekor sapi sebesar Rp 11.600,00/hari. Setelah dihitung dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan sapi dengan hasil yang diperoleh dari menjual sapi mendapatkan keuntungan sebesar Rp 8.400,00/hari.
Hasil usaha tani yang dijual seperti jagung, ubi kayu, cabai, kacang tanah dan sawi. Hasil dari usaha tani selain dikonsumsi juga dijual untuk memutar uang yang ada agar dapat memproduksi kembali. Hasil jagung yang didapatkan selama tiga tahun sebesar 4-5 ton dengan harga jual Rp 2.000/kg. Jadi, pendapatan yang diperoleh dari usaha tani jagung sebesar 4.000 kg× Rp 2.000,00 = Rp 8.000.000,00. Sawi dengan luas lahan 1m2 menghasilkan 3kg dengan harga jual Rp 1.000,00/kg selama masa tanam 40 hari. Jadi, 8.000 m2×3 kg×Rp 1.000,00= Rp 24.000.000,00/Ha. Ubi kayu dapat menghasilkan 3kg/batang yang biasanya ditanam tumpang sari dengan jagung, kacang tanah dan juga cabai.
Berdasarkan BEP kita dapat mengetahui bagaimana seharusnya batas minimal hasil yang kita peroleh untuk mendapatkan titik impas agar tidak rugi. Setelah kita mengetahui titik impas tersebut setidaknya kita berusaha untuk melewati batasan titik impas baik dalam unit maupun rupiah agar kita mendapatkan laba/keuntungan dalam mengelolah usaha tani dan usaha ternak. Serta membuktikan bahwa sistem pertanian terpadu memberikan laba yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan, input yang dipakai diperoleh dari dalam juga dengan menggunakan output yang dihasilkan.
Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong Sragen memiliki pengolahan tanah yang terpadu, karena dalam pengolahan hanya menggunakan cangkul untuk menggemburkan tanah dan di bantu oleh pupuk kandang dalam menyuburkan tanahnya. Pola penanaman digunakan dengan pola tumpang sari yang di dalamnya di tanam lebih dari satu tanaman atau multiple cropping. Unsur hara yang pada awalnya sedikit menjadi tersedia dalam jumlah yang cukup semenjak dilaksanakan kegiatan pertanian terpadu karena bahan organik yang diperoleh dari pupuk kandang membantu dalam menurunkan pH tanah dan menambah hara essensial mikro. Pengembangan pertanian terpadu di kebun ini meminimalkan penggunaan pestisida. Apabila organisme pengganggu tanaman belum melewati ambang ekonomi maka masih dapat dipergunakan pengendalian hama terpadu dengan menggunakan musuh alami dan perangkap untuk menangkap hama. Pemasaran untuk hasil-hasil pertanian dilakukan dengan menjual hasil-hasilnya ke pedagang sayur agar dapt langsung di pasarkan dengan keadaan hasil pertanian yang masih segar. Selain hasil pertanian ternyata di pengembangan pertanian terpadu ini juga memasarkan ternak yang bobotnya sudah cukup untuk dijual. Pengamatan yang dilaksanakan di lapangan dapat diketahui bahwa lahan tersebut sudah melaksanakan sistem pertanian terpadu. Input (masukan) dan output (keluaran) yang digunakan saling berkaitan dengan sistem tertutup. Memperkecil input dari luar, dalam hal ini input dari luar hanya digunakan pada awal memulainya sistem ini.






























KESIMPULAN

Guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan. Berbagai bentuk pendekatan yang dapat diterapkan, diantaranya adalah : sistem tanam ganda; komplementari hewan ternak dan tumbuhan; usaha terpadu peternakan dan perkebunan; agroforestry; pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik; dan pengelolaan hama terpadu. Berbagai pendekatan tersebut dilaksanakan secara terpadu, dan untuk mendukung keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi teknologi yang di rancang berdasarkan kesesuaian dengan kondisi wilayah baik bio-fisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
Dalam sistem pertanian terpadu berkaitan dengan input, proses produksi dan output. Proses input berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia, pada proses produksi berhubungan dengan waktu dan lingkungan sedangkan pada output berkaitan dengan pangan, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Hal ini saling berkaitan karena apabila salah satu komponen yang ada di dalamnya rusak atau hilang akan mempengaruhi keadaan dan ketersediaan komponen lain.
Keunggulan sistem pertanian terpadu, bersifat :
1. Efisiensi pada pemanfaatan sumber daya alam secara optimum
2. Mandiri dimana sistem dapat berjalan dengan input luar minimum
(LEISA) dan bersifat closed system
3. Berkelanjutan yang berarti bahwa sistem ini ramah lingkungan dan lebih menguntungkan serta kearifan lokal dan dapat diterima masyarakat
Untuk kendala pada sistem pertanian terpadu itu sendiri antara lain :
1. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai keberlanjutan sistem pertanian
2. Hasil produksinya lebih sedikit bila dibandingkan dengan sistem pertanian konvensional
3. Dibutuhkan tenaga kerja yang lebh intensif
Sistem pertanian terpadu akan selalu tersedia apabila komponen-komponen yang ada selalu dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik dan penggunaannya tidak berlebihan, sehingga dapat selalu tersedia dan dapat di manfaatkan. Jadi banyaknya pemanfaatan sumber daya alam saat ini akan sangat membantu kelestarian komponen dari sistem pertanian.





























DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan. Agroforestri Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre For Research In Agroforestry. Bogor.
Anonim. 2001. Sistem Pertanian di Indonesia.http://www.lab link.or.id. Diakses
pada tanggal 22 Mei 2010 pukul 17.00 WIB
Danoesastro, Haryono. 1979. Pemanfaatan Pekarangan. Yayasan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Dover,M. dan Talbot,L.M., 1987. To Feed The Earth: Agroecology for Sustainable Development. World Resources Intitute. Washington DC.
Handayanto, E. 1999. Pengelolan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Hardjowigeno, S., 1989. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta
Manuwoto.2009. Sistem Pertanian di Indonesia.
Http://makhey.blogspot.com/2009/09/sistem-pertanian-di-indonesia. Diakses pada tanggal 12 November 2011.
http://www.scribd.com/doc/32961554/sistem-pertanian-terpadu. Diakses pada tanggal 12 November 2011.
Monika, WT et al. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret Universitas Press. Surakarta.
Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari minat Pengelolaan Berkelanjutan
Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering.Makalah Seminar Nasional dan Pelatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember
Pusat Peneliti Universitas Brawijaya. 1991. Penelitian dan Pengembangan Sistem
Usaha Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. Proseding Simposium Nasional Malang. Universitas Brawijaya. Malang
Reijntjes,C., B.Haverkot dan A. W. Bayer., 1999. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta.
Sugito, Y., Y. Nuraini dan E. Nihayati. 1993. Sistem Pertanian Organik. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Syekhfani. 1993. Pengaruh sistim pola tanam terhadap kandungan bahan organik
dalam mempertahankan kesuburan tanah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi di Universitas Lampung. Bandar Lampung





























0 komentar:

Posting Komentar

demi melengkapi tulisan ini,sangat dibuttuhkan komentar anda
S I L A H K A N K O M E N T A R............