Tekhnolgi vs Kearifan Lokal
Dalam beberapa
minggu terakhir banyak dilaporkan tentang penurunan produksi pertanian dan
kegagalan panen. Di berbagai daerah terjadi kegagalan panen/puso pada tanaman
padi akibat serangan tikus atau wereng, di daerah yang lain produksi gabah
mengalami penurunan produktivitas lahan sehingga mengancam target penyediaan
pangan, dan sebagainya. Hal
ini sebenarnya disebabkan oleh perubahan perilaku petani dalam menerapkan
sistem budidaya di lapangan. Sistem pertanian telah dikembangkan dengan banyak
meninggalkan kearifan lokal dan tidak berbasis pada konsep kealaman. Beberapa
contoh kasus di lapangan seperti penanaman satu jenis tanaman secara berulang
dan terus menerus (monokultur), penamanan tidak serempak penyederhanaan jenis
tanaman, dan sebagainya menjadi pemicu banyaknya kegagalan panen.
Penanaman monokultur untuk mengejar target produksi
tanpa adanya rotasi dalam jangka panjang juga tidak berbasis pada konsep
kealaman, serta tidak menguntungkan terutama dari aspek ekologi dan agronomi.
Dengan dalih ketersediaan air yang cukup, ada kecenderungan petani akan menanam
padi secara terus menerus. Fenomena alam yang dipelajari dalam jangka panjang
dengan ilmu yang diekspresikan dalam berbagai kearifan lokal seperti pranoto
mongso sudah mulai ditinggalkan dan digantikan perannya oleh
penggunaan external input. Sistem penanaman tidak serempak juga
tidak menguntungkan karena menyebabkan siklus hama tidak terputus, karena
ketersediaan pakan bagi hama tercukupi. Meluasnya serangan hama wereng dan
tikus dimungkinkan karena penanaman padi yang tidak serempak.
Alam mengajarkan
bahwa setiap organisme di alam termasuk hama mempunyai musuh alami, yang
berperan sebagai pengendali alami. Jika penanaman padi dilakukan serempak,
dengan populasi hama yang sama, maka kehilangan hasil tanaman akan
terdistribusi dalam areal yang luas sehingga secara kualitatif akan rendah.
Setelah tanaman dipanen, hama akan kehilangan pakan dan secara alami akan
mengalami penurunan populasi, sehingga pada musim tanam berikutnya serangannya
akan jauh menurun. Namun jika penanaman tidak serempak, hama hanya akan
berpindah dari satu lahan ke lahan yang lain sehingga populasi terjaga, bahkan
berkembang lebih banyak,”
Sebagian besar
petani kita sudah tidak lagi belajar dari alam, dan lebih percaya pada
penggunaan external input sebagai
solusi terhadap permasalahan pertanian. Padahal alam membentuk keseimbangan dan
keteraturan yang dinamis, sehingga seharusnya menjadi dasar dalam pengembangan
sistem pertanian.
Di daerah pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar hidup
dari pertanian, maka kearifan lokal tersebut juga terinternalisasi secara sadar
dalam tata cara bertani. Kehidupan sehari-hari masyarakat petani pun tidak
lepas dari kearifan lokal pertanian tersebut. Dapat dikatakan bahwa tata cara
bertani yang berlandaskan pada kearifan lokal tersebut merupakan bentuk-bentuk
local genius. Misalnya, pada masyarakat petani tradisional di beberapa wilayah
Pulau Jawa dan di Pulau Bali, masih sangat mempercayai pengaruh pemilihan
hari-hari tertentu sebagai hari-hari yang paling baik untuk melakukan
penyemaian benih, mengolah lahan sawah, pindah tanam, dan sebagainya. Di Bali,
masyarakat petani juga mengenal tata kelola pengairan sawah secara tradisional
yang disebut dengan Subak. Lumbung-lumbung desa yang hingga awal 1980-an masih
banyak terdapat di setiap pedesaan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi
merupakan bentuk lain dari kearifan lokal untuk menjaga ketahanan pangan
tersebut.
Contoh kearifan lokal tersebut secara ilmiah memang telah
dapat dibuktikan kebenarannya. Perbedaan pemilihan hari untuk menyemai benih
ternyata secara ilmiah terbukti dapat memberikan hasil yang berbeda pula. Pola
pengairan tradisional Subak juga telah diakui dan teruji secara ilmiah oleh masyarakat
dunia sebagai tata kelola pengairan yang sahih. Lumbung-lumbung desa yang
selalu terisi penuh juga terbukti mampu menyelamatkan masyarakat lokal dari
bencana kelaparan.
Local genius ini dalam prakteknya, sering kali tidak dapat
diterima oleh masyarakat dengan budaya modern, bahkan oleh masyarakat pedesaan
sendiri yang telah terimbas oleh modernisasi gaya hidup dan pengetahuan
pertanian. Memang ada local genius sebagai bentuk dari kearifan lokal yang
sering kali tidak dapat dipahami secara logika. Ada pula praktek-praktek
pertanian yang telah dijalankan selama berpuluh bahkan beratus tahun ternyata
secara ilmiah justru tidak terbukti kesahihannya.
Meskipun terdapat kearifan lokal yang tidak lagi dapat
diterima dan diterapkan, bukan berarti peranan masyarakat lokal dengan kearifan
lokalnya dapat dan boleh direduksi atau diabaikan begitu saja. Justru kearifan
lokal dapat menjadi faktor pendorong dinamisasi aktivitas pertanian di
pedesaan.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman
pangan, kearifan lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta
teknologi modern. Sebab, seperti telah dijelaskan, kearifan lokal merupakan
internalisasi dari pengalaman hidup yang panjang dan menjadi bagian dari way of life masyarakat lokal dengan norma-norma
sosialnya. Dengan demikian kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi jaring
penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan
budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.
Hal tersebut menjadi sangat penting dalam konteks perwujudan
ketahanan pangan nasional. Mewujudkan ketahanaan pangan nasional melalui
peningkatan produksi komoditas pangan bukan berarti harus mengabaikan
norma-norma sosial budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta
memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Ketahanan pangan nasional akan
menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan sosial budaya
masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.
Kearifan lokal ini menjadi benteng yang semakin penting dari
hari ke hari sejalan dengan peningkatan peranan dunia usaha di bidang pertanian
tanaman pangan. Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan memang sulit
untuk dihindari, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong. Sementara
peran pemerintah lebih terfokus pada regulasi dan penyediaan infrastruktur
pertanian. Meski demikian, peranan dunia usaha tetap harus sejalan dengan
kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan masyarakat
pedesaan selama ini.
Untuk itu,
sebelum lebih banyak terjadinya kegagalan dan kerugian ada baiknya perlu
dilakukan perbaikan dalam sistem budidaya dengan lebih mengedepankan konsep
kealaman dan berbasis kearifan lokal melalui pemanfaatan dan pengelolaan alam
dengan tetap menjaga kelestariannya. Lahan pertanian
dimanfaatkan bukan hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk generasi yang
akan datang, sehingga dalam mengelola lahan harus berorentasi produktivitas,
stabilitas, kemerataan dan keberlanjutan. Dan untuk mewujudkan hal tersebut,
perlu adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengubah perilaku dan juga perlu
dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan,”
bro tolong edit blog saya bro,,,buat kayak templet kamu aja bisa nggak bro,,,,,,,,,,,,,,,
BalasHapus