Minggu, 17 Juni 2012

Tekhnologi vs Kearifan Lokal


Tekhnolgi vs Kearifan Lokal


Dalam beberapa minggu terakhir banyak dilaporkan tentang penurunan produksi pertanian dan kegagalan panen. Di berbagai daerah terjadi kegagalan panen/puso pada tanaman padi akibat serangan tikus atau wereng, di daerah yang lain produksi gabah mengalami penurunan produktivitas lahan sehingga mengancam target penyediaan pangan, dan sebagainya. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh perubahan perilaku petani dalam menerapkan sistem budidaya di lapangan. Sistem pertanian telah dikembangkan dengan banyak meninggalkan kearifan lokal dan tidak berbasis pada konsep kealaman. Beberapa contoh kasus di lapangan seperti penanaman satu jenis tanaman secara berulang dan terus menerus (monokultur), penamanan tidak serempak penyederhanaan jenis tanaman, dan sebagainya menjadi pemicu banyaknya kegagalan panen.

Penanaman  monokultur untuk mengejar target produksi tanpa adanya rotasi dalam jangka panjang juga tidak berbasis pada konsep kealaman, serta tidak menguntungkan terutama dari aspek ekologi dan agronomi. Dengan dalih ketersediaan air yang cukup, ada kecenderungan petani akan menanam padi secara terus menerus. Fenomena alam yang dipelajari dalam jangka panjang dengan ilmu yang diekspresikan dalam berbagai kearifan lokal seperti pranoto mongso sudah mulai ditinggalkan dan digantikan perannya oleh penggunaan external input. Sistem penanaman tidak serempak juga tidak menguntungkan karena menyebabkan siklus hama tidak terputus, karena ketersediaan pakan bagi hama tercukupi. Meluasnya serangan hama wereng dan tikus dimungkinkan karena penanaman padi yang tidak serempak.
Alam mengajarkan bahwa setiap organisme di alam termasuk hama mempunyai musuh alami, yang berperan sebagai pengendali alami. Jika penanaman padi dilakukan serempak, dengan populasi hama yang sama, maka kehilangan hasil tanaman akan terdistribusi dalam areal yang luas sehingga secara kualitatif akan rendah. Setelah tanaman dipanen, hama akan kehilangan pakan dan secara alami akan mengalami penurunan populasi, sehingga pada musim tanam berikutnya serangannya akan jauh menurun. Namun jika penanaman tidak serempak, hama hanya akan berpindah dari satu lahan ke lahan yang lain sehingga populasi terjaga, bahkan berkembang lebih banyak,”
Sebagian besar petani kita sudah tidak lagi belajar dari alam, dan lebih percaya pada penggunaan external input sebagai solusi terhadap permasalahan pertanian. Padahal alam membentuk keseimbangan dan keteraturan yang dinamis, sehingga seharusnya menjadi dasar dalam pengembangan sistem pertanian.
Di daerah pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar hidup dari pertanian, maka kearifan lokal tersebut juga terinternalisasi secara sadar dalam tata cara bertani. Kehidupan sehari-hari masyarakat petani pun tidak lepas dari kearifan lokal pertanian tersebut. Dapat dikatakan bahwa tata cara bertani yang berlandaskan pada kearifan lokal tersebut merupakan bentuk-bentuk local genius. Misalnya, pada masyarakat petani tradisional di beberapa wilayah Pulau Jawa dan di Pulau Bali, masih sangat mempercayai pengaruh pemilihan hari-hari tertentu sebagai hari-hari yang paling baik untuk melakukan penyemaian benih, mengolah lahan sawah, pindah tanam, dan sebagainya. Di Bali, masyarakat petani juga mengenal tata kelola pengairan sawah secara tradisional yang disebut dengan Subak. Lumbung-lumbung desa yang hingga awal 1980-an masih banyak terdapat di setiap pedesaan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi merupakan bentuk lain dari kearifan lokal untuk menjaga ketahanan pangan tersebut.
Contoh kearifan lokal tersebut secara ilmiah memang telah dapat dibuktikan kebenarannya. Perbedaan pemilihan hari untuk menyemai benih ternyata secara ilmiah terbukti dapat memberikan hasil yang berbeda pula. Pola pengairan tradisional Subak juga telah diakui dan teruji secara ilmiah oleh masyarakat dunia sebagai tata kelola pengairan yang sahih. Lumbung-lumbung desa yang selalu terisi penuh juga terbukti mampu menyelamatkan masyarakat lokal dari bencana kelaparan.
Local genius ini dalam prakteknya, sering kali tidak dapat diterima oleh masyarakat dengan budaya modern, bahkan oleh masyarakat pedesaan sendiri yang telah terimbas oleh modernisasi gaya hidup dan pengetahuan pertanian. Memang ada local genius sebagai bentuk dari kearifan lokal yang sering kali tidak dapat dipahami secara logika. Ada pula praktek-praktek pertanian yang telah dijalankan selama berpuluh bahkan beratus tahun ternyata secara ilmiah justru tidak terbukti kesahihannya.
Meskipun terdapat kearifan lokal  yang tidak lagi dapat diterima dan diterapkan, bukan berarti peranan masyarakat lokal dengan kearifan lokalnya dapat dan boleh direduksi atau diabaikan begitu saja. Justru kearifan lokal dapat menjadi faktor pendorong dinamisasi aktivitas pertanian di pedesaan.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan, kearifan lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Sebab, seperti telah dijelaskan, kearifan lokal merupakan internalisasi dari pengalaman hidup yang panjang dan menjadi bagian dari way of life masyarakat lokal dengan norma-norma sosialnya. Dengan demikian kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi jaring penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.
Hal tersebut menjadi sangat penting dalam konteks perwujudan ketahanan pangan nasional. Mewujudkan ketahanaan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas pangan bukan berarti harus mengabaikan norma-norma sosial budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Ketahanan pangan nasional akan menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan sosial budaya masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.
Kearifan lokal ini menjadi benteng yang semakin penting dari hari ke hari sejalan dengan peningkatan peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan. Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan memang sulit untuk dihindari, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong. Sementara peran pemerintah lebih terfokus pada regulasi dan penyediaan infrastruktur pertanian. Meski demikian, peranan dunia usaha tetap harus sejalan dengan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan masyarakat pedesaan selama ini.
Untuk itu, sebelum lebih banyak terjadinya kegagalan dan kerugian ada baiknya perlu dilakukan perbaikan dalam sistem budidaya dengan lebih mengedepankan konsep kealaman dan berbasis kearifan lokal melalui pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan tetap menjaga kelestariannya. Lahan pertanian dimanfaatkan bukan hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk generasi yang akan datang, sehingga dalam mengelola lahan harus berorentasi produktivitas, stabilitas, kemerataan dan keberlanjutan. Dan untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengubah perilaku dan juga perlu dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan,”


1 komentar:

  1. bro tolong edit blog saya bro,,,buat kayak templet kamu aja bisa nggak bro,,,,,,,,,,,,,,,

    BalasHapus

demi melengkapi tulisan ini,sangat dibuttuhkan komentar anda
S I L A H K A N K O M E N T A R............